Data Bicara
Ekonomi
Kolom
Politik & Keamanan
Humaniora
Rehat
Mancanegara
Lingkungan
Percakapan
Good Radio Jakarta

Demi viral di media sosial, apa saja rela dilakukan. Termasuk membuat konten yang kontan menghilangkan nyawa

Ilustrasi Media Sosial

A   A   A   Ukuran Font

Si Fulan dan kawan-kawannya berjalan pelan di pinggir jalan raya. Melihat ada sebuah truk penuh muatan melaju ke arah mereka dari arah berlawanan, sekonyong-konyong Fulan berdiri tepat di tengah jalur truk melaju. Sopir yang terkejut melihat seseorang di depannya tak kuasa mengendalikan situasi.

Saat truk makin mendekat dengan kecepatan tinggi dan tak ada lagi ruang menghindar, Fulan yang berusia 13 tahun itu hanya bisa pasrah menyorongkan kedua tangan. Maksud hati ingin mengadang terjangan truk. Apa lacur truk kadung melaju kencang, dan tak bisa dihentikan mendadak. Fulan pun terlindas dan tewas seketika. Seorang kawannya mengalami cedera serius.

Ilustrasi di atas terjadi medio tahun lalu di Cikarang Utara, Bekasi, Jawa Barat. Tahun ini tambah lagi dua korban tewas karena melakukan aksi serupa, masing-masing berusia 14 dan 18 tahun. Kejadian berlangsung lokasi berbeda, yakni di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat (2/6/), dan Karawaci, Kota Tangerang, Banten (2/6/2022).

Mereka awalnya terpengaruh mengikuti tantangan malaikat maut alias angel of death challenge. Bermula dan beredar di Tiktok. Lalu menyeberang ke Instagram, Twitter, Facebook, hingga YouTube. Dari namanya saja tantangan ini jelas menantang maut, kalau tidak mau disebut cari mati dengan cara konyol.

Caranya adalah dengan tiba-tiba beraksi menyetop truk yang sedang melaju di jalanan. Saat truk makin dekat dan akan menabrak, orang tersebut harus secepatnya menyingkir sehingga terhindar dari tabrakan. Jika berhasil maka orang tersebut dinyatakan sukses menaklukkan tantangan. Tidak ada hadiah besar menanti pemenang tantangan ini. Yang ada hanya pembuktian, pengakuan, dan syukur-syukur menuai kepopuleran alias viral lantaran konten video yang terunggah mendapat banyak penonton, penyuka, dan dibagikan berulang kali.

Perbuatan nekat itu terang meresahkan. Tak terkecuali bagi sopir-sopir truk yang jadi sasaran utama tantangan malaikat maut. Mereka tak habis pikir mengapa ada orang rela berbuat sedegil itu mempertaruhkan keselamatan demi sebuah konten. Pun membahayakan pengguna jalan yang lain.

Bagi para sopir, mereka bisa berakhir meringkuk di dalam penjara karena dakwaan membunuh. Itu juga kalau mereka berhasil terhindar dari maut lantaran kena amuk massa di jalanan.

Ada banyak contoh konten video lain di media sosial yang bikin kita geleng kepala. Di tempat lain, seorang pria melakukan aksi yang tak kalah berbahaya. Bersama seorang kawannya yang memegang alat rekam, ia menyembulkan kepalanya di tengah rel kereta api. Anggota tubuh dari leher hingga ke kaki berada di bawah kolong rel. Saat kereta makin dekat, ia lalu bersembunyi di bawah kolong rel sembari memperlihatkan betapa kencang kereta api melaju di atas kepalanya.

Sementara di Amerika Serikat, sebagian remaja menggandrungi yang namanya blackout challenge. Aturan permainannya dengan menahan napas hingga pingsan karena kekurangan oksigen. Sebagian ada yang melakoninya dengan mencekik leher sendiri. Melansir The Washington Post (17/5), sudah ada lima orang anak berusia di bawah 14 tahun yang meninggal dunia lantaran ikut tantangan ini.

Melakukan aksi berbahaya kini tak lagi hanya bisa kita saksikan dalam film atau sulap yang sejatinya dilakukan oleh pekerja profesional. Platform media sosial telah pula dibanjiri oleh konten video menantang maut. Pembuatnya adalah kaum remaja —bahkan anak-anak—yang tentu melakukannya tanpa persiapan dan perhitungan matang laiknya para aktor laga atau pesulap profesional.

Mengutip survei TikTok pada 2021 yang melibatkan lebih dari 10 ribu anak remaja, orang tua, dan guru dari Argentina, Australia, Brasil, Jerman, Italia, Indonesia, Mexico, Inggris, Amerika Serikat, dan Vietnam, ada sebanyak 0,3% yang mengaku ambil bagian mengikuti tantangan dengan kategori “sangat berbahaya” karena menyangkut keselamatan.


Sebenarnya apa motivasi mengikuti atau memproduksi aneka konten yang taruhannya nyawa? Ada yang mengaku sekadar ikut-ikutan agar tak ketinggalan tren yang sedang terjadi. Istilahnya Fear of Missing Out (FoMO). Alhasil mereka berlomba ikut memproduksi konten sesuai tren tanpa peduli jika mengancam keselamatan.

Alasan lain yang mengemuka lebih ambisius nan banal; meningkatkan jumlah pengikut, subscribers, atau viewers di media sosial. Viral di jagat maya, di kalangan warganet.

Menjadi viral serupa kalimat sakti yang banyak menginspirasi para pengguna unjuk kebolehan di media sosial dengan beragam konten, tak peduli yang sifatnya berbahaya sekalipun laiknya tantangan malaikat maut dan blackout challenge tadi.

Banyak pihak yang menuding salah satu alasan utamanya karena rendahnya literasi digital di Indonesia. Merujuk hasil Indeks Literasi Digital Indonesia pada 2021, indeks literasi digital Indonesia berada di angka 3,49.

Pengukuran dilakukan melalui survei tatap muka kepada 10.000 responden dari 514 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Karakteristik responden adalah pengguna internet berusia 13-70 tahun.

Angka indeks tersebut sebenarnya meningkat dari tahun sebelumnya yang tercatat 3,46. Dalam skala satu hingga lima, dengan satu “sangat buruk” dan lima “sangat baik”, tingkat literasi digital Indonesia berarti masuk kategori “sedang”.

Menyadur buku Peran Literasi Digital di Masa Pandemik (2021) Devri Suherdi menulis bahwa literasi digital merupakan pengetahuan serta kecakapan pengguna dalam memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan internet, dan lain sebagainya. Kecakapan itu mencakup kemampuan untuk menemukan, mengerjakan, mengevaluasi, menggunakan, membuat serta memanfaatkan media digital dengan bijak, cerdas, cermat, serta tepat sesuai kegunaannya.

Jika merujuk pengertian tadi, maka bisa dengan mudah kita menganggap para remaja pembuat konten berbahaya itu rendah literasi digitalnya.

Namun, Firman Kurniawan, Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, dalam sebuah wawancaranya coba menyodorkan tafsir lain. Kesalahan seharusnya tak melulu ditimpakan kepada sang pembuat konten nekat, tapi juga penyedia platform yang hanya peduli pada kuantitas alias traffic. Sementara soal kualitas jadi nomor sekian.

Pemilik konten-konten yang viral atau trending kemudian dijadikan tempat beriklan oleh pengembang platform. Ketenaran akhirnya mendatangkan pemasukan ekonomi. Sungguh kombinasi menggiurkan. Alhasil banyak orang berlomba membuat konten viral tak peduli bisa merenggut nyawa. Padahal, apalah arti ketenaran jika badan telah menjadi mayat.

#Tiktok Challenge